Umaya (30) pernah harus mendapat perawatan dari dokter dan menjalani istirahat total hanya karena kurang minum. Sepulang pergi bertugas dari luar kota, ia merasa pusing. Benda-benda sekitarnya seperti berputar. Setelah dilakukan pemeriksaan, wanita ini didiagnosa dehidrasi berat oleh dokter.
Aktivitasnya terbilang padat saat bekerja di Tarakan, Kalimantan Utara kala itu. Ia harus bolak balik ke lebih dari lima tempat dalam dua hari dengan menyeberangi dan menyusuri sungai-sungai besar di sana. Selagi bekerja, Umay tak merasakan gejala apa pun yang mengindikasikan dirinya kekurangan cairan.
Namun, sepulang dari Tarakan, badannya ambruk. Pilihannya saat itu hanya dua: dirawat inap atau benar-benar menghentikan segala aktivitas selama tiga hari penuh. Umay mengambil pilihan kedua untuk memulihkan kondisinya.
“Waktu itu enggak merasa haus, biasa saja. Makanya [saya] heran saat dokter bilang kena dehidrasi berat,” ceritanya.
Dehidrasi merupakan kondisi ketika tubuh kehilangan cairan lebih banyak dibandingkan dari yang dikonsumsi. Kondisi ini dibedakan menjadi tiga tahapan: dehidrasi ringan dan sedang yang dapat segera diperbaiki dengan mengkonsumsi lebih banyak cairan. Lalu, ada dehidrasi berat yang memerlukan penanganan dari medis.
Yang menjadi masalah, dehidrasi seringkali disepelekan dan dianggap tidak memiliki efek samping membahayakan. Gejalanya pun sering kali tak terdeteksi. Rasa haus tak bisa selalu dijadikan tolok ukur dehidrasi. Banyak orang bisa tidak merasakan haus, sampai mereka mengalami periode berat dehidrasi, seperti yang dialami Umay.
Penelitian oleh Hardiansyah bertajuk The Hydration Indonesian Regional Study (THIRST) pada 2009 menunjukkannya. Dehidrasi ringan dialami oleh 41,67 persen remaja dan 24 persen orang dewasa di Indonesia.
Dehidrasi sebenarnya tak memerlukan perawatan lama apabila terdeteksi dini. Gejalanya, menurut situs Mayo Clinic, dapat dikenali dengan mudah lewat warna urine. Semakin pekat warna urine yang dikeluarkan, berarti tubuh semakin kekurangan cairan.
Gejala lain dehidrasi adalah haus ekstrem, kelelahan, pusing, dan disorientasi. Pada bayi dan anak kecil, tanda-tandanya bisa dikenali dari mulut dan lidah yang kering. Lazimnya, mereka juga tak mengeluarkan air mata saat menangis. Dalam waktu tiga jam, popoknya belum basah. Juga ada cekungan di mata dan pipi, serta terlihat lesu dan iritasi.
Dehidrasi Bisa Sebabkan Komplikasi Serius
“Sekitar 60 persen tubuh terdiri dari air. Mereka berfungsi sebagai pengatur suhu, pembentuk sel, pelarut, media transportasi, media eliminasi toksin, pelumas dan bantalan,” terang seorang ahli gizi, dr. Diana Sunardi, M.Gizi, dalam sebuah diskusi terbatas di Kuningan beberapa waktu lalu.
Penjelasan dr. Diana menekankan air sebagai komponen penting dalam tubuh. Jika komposisinya terganggu, maka dapat dipastikan, sistem tubuh tak akan lagi berjalan normal seperti seharusnya.
“Pada kondisi berat, dehidrasi membuat otot berkontraksi, tekanan darah menurun, napas cepat, dan bisa kejang hingga hilang kesadaran.”
Selain itu, dalam keadaan kekurangan cairan berat, tubuh akan terkena serangan panas/demam. Masalah ini bisa berkembang juga menjadi infeksi saluran kemih, batu ginjal, gagal ginjal, dan bahkan syok hipovolemik. Yang disebut terakhir adalah kondisi darurat ketika jantung tidak mampu memasok darah yang cukup ke seluruh tubuh akibat kurangnya volume darah.
Penelitian oleh Kempton MJ, dkk (2011) juga menyebutkan bahwa dehidrasi membikin jaringan otak menyusut serta meningkatkan volume pemompaan jantung. Peneliti mengamati pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) pada 10 remaja sehat berusia rata-rata 16 tahun yang diminta melakukan aktivitas fisik. Hasilnya menunjukkan aktivitas metabolik otak tidak efisien setelah mengalami dehidrasi. Jika asupan air terus berkurang, fungsi eksekutif seperti perencanaan dan pengolahan visuo-spasial juga akan menurun.
“Kondisi ini juga meningkatkan risiko penyakit stroke,” terang dr. Diana.
Seperti ditulis situs Mayo, kelompok yang rentan mengalami dehidrasi adalah bayi, anak-anak, orang tua, individu dengan penyakit kronis, dan individu dengan kerja berat. Bayi dan anak-anak menjadi kelompok rentan karena belum bisa menginformasikan rasa haus mereka secara verbal.
Orang tua rentan terkena dehidrasi karena cadangan cairan tubuh semakin sedikit seiring bertambahnya umur. Kondisi ini diperparah masalah mobilitas yang membatasi kemampuan mereka untuk mengambil air minum.
Untuk mencegah kondisi ini, langkah yang paling mudah adalah menjaga asupan cairan dalam tubuh. Caranya adalah mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak air seperti buah dan sayuran. Asupan cairan juga harus ditambah jika mengalami kondisi seperti muntah atau diare, sedang dalam olahraga berat, cuaca panas atau dingin, dan sakit.
Menurut buku Pedoman Gizi Seimbang 2014, kebutuhan cairan berbeda pada tiap umur individu. Pada usia 0-12 tahun diperlukan cairan sebanyak 1800 mL. Jumlahnya meningkat menjadi 2000 mL pada umur 13-15 tahun. Remaja umur 16-18 tahun membutuhkan 2100 mL, sedangkan kelompok umur 19-50 tahun memerlukan cairan sebanyak 2300 mL.
Kebutuhan cairan akan menurun ketika manusia menginjak umur 65-80 tahun: cukup 1600 mL cairan. Tambah menyusut lagi menjadi 1500 mL saat usia berada di atas 80 tahun.
Bagi wanita hamil trimester 1-3, kebutuhan bertambah—dari kebutuhan sesuai usianya—sebanyak 300 mL. Pada ibu menyusui 6 bulan pertama, asupan cairan perlu ditambah 800 mL, sementara ibu menyusui 6 bulan berikutnya cukup menambah cairan 650 mL saja.
Jika Anda merasa repot untuk mengingat angka-angka itu, dokter Diana memberi rentang yang lebih mudah: "Minum 8-11 gelas air per hari."
sumber: tirto.id